Sang Pengantin

Sang Pengantin

Galau. Itulah yang kurasakan sejak orangtuaku memutuskan untuk bercerai. Aku tidak mengerti mengapa orang yang sangat kusayangi harus berpisah. Berbagai rasa mengaduk perasaanku. Marah, kecewa, dan sedih bergumpal di dada. Aku kecewa pada diriku yang tidak bisa membuat orangtuaku tetap bersatu walau kutahu dengan pasti bahwa perpisahan mereka bukan karena salahku

Aku mau menangis sekeras-kerasnya tapi malu karena aku sudah besar. Sudah tamat SMA. Aku pendam saja semua rasa yang berseliweran di hati. Ketika ibu mengajakku ikut bersamanya ke rumah nenek di luar kota, dengan tegas aku menolaknya. Hanya kedua adikku yang bersedia ikut dengan ibu. Sementara aku dan kakakku yang sedang kuliah memutuskan tinggal bersama ayah.

Bukan aku tidak sayang dengan ibu. Aku hanya tidak suka jika harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Aku termasuk tipe orang yang introvert dan tidak pintar bergaul serta pemalu.

Di depan semua orang, aku bersikap seolah tidak terpengaruh dengan perceraian orangtua. Tapi di lubuk terdalam diriku, aku merasa sangat terluka dan merana. Saat ayah menyuruhku kuliah, dengan halus aku menolaknya. Alasanku, aku ingin istirahat dulu dari urusan belajar. Ayah pun cukup memakluminya. Alasan sebenarnya adalah aku ingin berdamai dengan diriku.

Untuk mengisi waktu, aku aktif di masjid di dekat rumah. Aku merasakan ketenangan batin saat berada di dalam masjid. Sesuatu hal yang mustahil lagi kudapatkan di rumah. Di situlah aku berkenalan dengan seseorang yang kerap disapa Ustad Fikri. Beliau rajin memberikan siraman rohani serta menjadi imam saat sholat berjamaah. Saat melantunkan ayat-ayat suci Alquran, suaranya sangat merdu dan menyejukkan hati. Penampilannya juga sangat bersahaja, dengan sorban putih di kepala dan jenggot yang menghiasi dagunya.

Aku yang pemalu, saat sholat berjamaah selalu memilih posisi di shaf terakhir. Aku cukup terkejut seusai sholat Isya, Ustad Fikri mendekati dan menyapaku.

“Kenapa kalau sholat tidak di shaf depan?” tegurnya ramah.

Aku hanya diam mengunci mulutku rapat-rapat.

Ustad Fikri tidak bertanya lagi. Dia hanya menepuk-nepuk punggungku dan berkata, “Besok datang lagi, ya! Saya senang dengan anak muda yang mau belajar agama.”

Itulah awal perkenalanku dengan Ustad Fikri. Aku yang tadinya tertutup perlahan bisa membuka diri dengan Ustad Fikri. Seusai sholat Isya, kami sering berdiskusi  tentang berbagai hal di rumahnya. Paling sering adalah membahas masalah jihad.

“Mengapa pengeboman di Bali, di depan kedutaan Australia dan di Hotel JW Marriot disebut jihad? Setahuku jihad itu adalah perang melawan orang-orang yang terbukti memusuhi Islam? Bukankah mereka tidak memusuhi Islam?”

“Anakku, mereka adalah musuh Islam. Jadi sudah seharusnya mereka harus dibasmi.”

Aku merasa nyaman setiap kali berbincang dengan Ustad Fikri karena beliau selalu memanggilku dengan sapaan anakku.

“Mengapa? Mereka kan tidak berperang mengangkat senjata melawan umat Islam?”

“Anakku, memang mereka tidak menggunakan senjata untuk melawan kita. Mereka, terutama Amerika menggunakan cara-cara halus untuk memberangus dan menjauhkan kita dengan ajaran agama. Pola pikir kita dirusak agar sama dengan pola pikir dan cara hidup mereka. Itu lebih berbahaya ketimbang perang dengan persenjataan lengkap.”

Aku terdiam mendengar penjelasan Ustad Fikri.

“Anakku, Amerika dan antek-anteknya adalah musuh nyata umat Islam. Kita harus menumpas mereka dengan cara berjihad!” Ustad Fikri berapi-api. “Amerika merupakan wali setan yang ada di muka bumi ini. Dan kita adalah wali Allah! Sebagai wali Allah, kita punya kewajiban untuk menumpas para wali setan!”

“Kenapa harus berjihad di Indonesia? Kenapa tidak di negara lain yang lebih banyak warga Amerikanya?”

“Anakku, jumlah umat Islam di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. Kita merupakan sasaran empuk wali setan. Karena itu kita harus menunjukkan perlawanan terhadap wali setan tersebut dengan berjihad.”

“Aku setuju dengan berjihad melawan wali setan tapi kalau melakukannya di Indonesia, aku tidak setuju. Karena yang banyak korbannya adalah justru umat Islam sendiri. Bukankah sudah jelas bahwa sesama muslim adalah bersaudara dan tidak boleh saling menyakiti?”

“Itu betul sekali, Anakku! Tapi perlu diingat bahwa dalam setiap peperangan ada orang-orang yang harus berkorban. Orang-orang yang tidak bersalah yang meninggal dalam pengeboman adalah orang yang mengorbankan jiwa raganya untuk mencapai cita-cita kita membasmi wali setan dari muka bumi!”

Walau awalnya aku tidak setuju dengan konsep jihad yang ditawarkan oleh Ustad Fikri tapi karena seringnya aku berbincang dan berdiskusi hal itu bersamanya, perlahan aku mulai bisa menerima konsep jihad tersebut. Benih-benih kebencian terhadap wali setan mulai mengakar dalam hati. Aku jadi muak dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Amerika. Aku juga merasa bangga karena hanya aku pemuda di kampung ini yang diajak ustad ke perkumpulan pengajiannya. Masalah jihad sering menjadi bahan diskusi dalam pengajian itu. Aku merasa nyaman karena anggota perkumpulan menerimaku dengan baik dan memperlakukanku sebagai saudara.

Suatu malam, seusai sholat Isya, Ustad Fikri memanggilku.

“Anakku, maukah kamu menjadi pengantin?”

Aku tergagap mendapat pertanyaan yang tidak kuduga seperti itu. “Aku…aku belum siap, Ustad. Aku belum bekerja dan aku juga belum punya pacar.”Aku merasa wajahku memanas, menahan malu.

Ah, perempuan mana yang sudi menjadi pacar pemuda pemalu sepertiku? Selain pemalu, aku juga punya wajah yang pas-pasan dengan kapasitas otak yang juga sedang-sedang saja ditambah lagi postur tubuh kurus kering seperti kurang gizi. Aku benar-benar tidak masuk dalam daftar pria idaman para wanita “Anakku, bukan menjadi pengantin seperti yang kau pikirkan,”kata Ustad Fikri seperti bisa membaca pikiranku.

Aku mengerutkan kening, bingung.

“Anakku, tahukah kamu bahwa orang yang meninggal dalam berjihad itu merupakan syahid.? Imbalan untuk orang yang mati syahid adalah surga. Ketika orang yang berjihad meninggal dunia, mereka langsung disambut oleh para bidadari yang akan menjadi mempelai wanita mereka. Orang yang mati syahid itulah sang pengantin!”

“Maksud Ustad, Aku….”

“Iya, Anakku. Kamu adalah orang pilihan. Tidak semua orang yang bisa mendapat kesempatan untuk melakukan ini. Apakah kamu bersedia melakukannya?”

***

Tidak ada rasa takut ataupun gentar saat aku memasuki sebuah pusat perbelanjaan yang sedang ramai pengunjungnya. Penampilanku sama dengan remaja-remaja yang sedang nongkrong dan bergerombol di cafe di mal ini. Dengan mengenakan jins, baju kaos serta sepatu kets, aku tampak seperti remaja yang akan menghabiskan waktu libur di mal. Tidak ada yang curiga kalau ransel di pundakku berisi bom yang siap meledakkan gedung ini.

Aku melirik jam. Beberapa menit lagi Ustad Fikri akan meneleponku. Benar saja, ponselku berbunyi. Telepon dari Ustad Fikri.

“Anakku, apakah kamu benar-benar siap untuk menjadi pengantin dan menjemput bidadari yang akan jadi mempelaimu?”

“Aku sangat siap dan aku sudah tidak sabar bertemu dengan calon pengantin wanitaku.” Belum pernah aku merasa sangat seyakin ini sebelumnya.

“Bagus, Anakku. Lima menit lagi, kau ledakkan bom yang ada di ranselmu!”perintah Ustad Fikri dengan nada lembut.

Kata Ustad Fikri, bidadari di surga wajahnya sangat cantik. Lebih cantik dari Luna Maya, artis idolaku. Badan mereka harum semerbak. Tutur sapanya halus dan lembut. Betul-betul sempurna. Dan yang lebih penting lagi, aku bisa memiliki mereka seutuhnya.  Selama ini aku cuma bisa berhayal saja mempunyai pacar yang cantik. Sesaat lagi itu bukan mimpi. Itu akan menjadi kenyataan dan abadi.

Aku siap mengorbankan nyawaku dengan ikut meledak bersama bom yang ada di ranselku. Aku yakin apa yang kulakukan ini adalah benar. Ini merupakan bentuk jihad melawan Amerika yang merupakan wali setan di bumi. Aku yakin aku akan mati syahid.

Sambil memejamkan mata, aku menekan sebuah tombol pengaktif bom yang ada di kantong celanaku. Dalam hitungan detik, bom meledak dengan dahsyatnya. Aku merasa sakit di sekujur tubuhku. Aku merasa tubuhku tercerai berai. Di sekelilingku mendadak gelap. Sunyi. Dingin. Kemana bidadari yang akan menyambutku? Mengapa mereka kunjung tidak datang?

Ah, alam kuburku tetap gelap. Terpampang putaran film hidup. Ternyata oh ternyata terpampang nyata Ustad Fikri penuh jelaga hitam di wajahnya. Di dunia nyata ia seakan paling mengerti diriku yang haus pengasihan. Ia kasih aku kesesatan ajaran saat aku ingin menjejak taubat.

***

Tengah malam di Benua Amerika

Sebuah telepon berbunyi disebuah gedung tinggi. Telepon itu berasal dari Indonesia.

“Lapor, misi berhasil dilaksanakan dengan baik!”

Good job! Terus jalankan misi kita. Biar wajah Islam akan semakin buruk dan tercoreng di mata dunia. Jihad merupakan kata yang ampuh untuk merusak citra Islam. I love it! Ha…ha…ha..”

Sambungan telepon pun terputus

 

Oleh : Emi Afrilia Burhanuddin


Leave a comment