Kata yang Belum Terucap untuk Riani

TABAH, sabar, dan kuat. Begitulah gambaran orang tentang diriku saat ini. Aku hanya tersenyum pahit menanggapinya. Orang hanya menilai dari penampilan luarku saja, tidak tahu sedalam apa kesedihan yang kurasa. Tidak ada gunanya juga menunjukkan kesedihan dengan deraian airmata atau berteriak histeris. Toh, itu tidak bisa membangunkan Riani dari tidur panjangnya.

Begitu mahal harga kebodohan yang harus kubayar. Ya, aku lelaki pengecut dan tolol yang tidak bisa mengikat hati Riani dengan cintaku. Kebersamaan yang terbina hampir tujuh tahun tidak bisa memberi kekuatan untuk menyatakan perasaan yang ada di kalbuku.

Cinta yang paling indah adalah cinta yang tak dilisankan cukup dibuktikan dengan tindakan, begitu yang selalu dikatakan Riani setiap aku mulai mengajaknya membahas tentang hubungan kami. Bodohnya, aku turut mengaminkannya.

“Deklarasi cinta itu milik remaja yang sedang dilanda cinta monyet. Hanya itu yang bisa dilakukan untuk mengekspresikan rasa. Menurutku itu jalan terakhir mengungkapkan perasaan,” ujar Riani setengah berfilosofi.

Karena alasannya cukup logis maka aku tak berusaha mendebatnya. Aku malah bersyukur mengingat aku bukan tipe pria yang bisa bersikap romantis dengan mengeluarkan seribu kata-kata rayuan berbumbu cinta. Cuma dengan tidak adanya ikrar tentang bagaimana bentuk hubungan kami, ada kalanya aku dihinggapi rasa cemas. Aku khawatir, hanya aku saja menganggap kebersamaan dengan Riani adalah sesuatu yang spesial, sementara Riani tidak menganggap hubungan ini istimewa. Sikap Riani yang menjaga jarak dengan laki-laki lain membuatku merasa nyaman dan aku pun mulai merangkai mimpi tentang masa depan hubungan kami.

Ketika tubuh Riani mulai dimasukkan ke liang lahat, aku merasa hatiku pun ikut terbawa. Berikut dengan mimpi indah menjadikan Riani sebagai ratu disinggasana cintaku. Mataku berkabut melihat tubuh Riani yang terbungkus kafan perlahan ditutupi dengan tanah. Aku tidak akan pernah lagi melihat wajahnya, mendengar tawanya yang renyah atau mendengarnya bercerita tentang kucing.

Sungguh tidak adil, Riani pergi dengan membawa sejuta cinta orang-orang yang menghantarkannya ke peristirahatan terakhir. Sementara aku akan menjalani sisa hidup dengan membawa ingatan yang menyakitkan tentang cinta yang belum sempat tersampaikan. Tubuhku makin ringan, ada kunang-kunang yang beterbangan mengitari kepala. Selanjutnya hanya gelap yang kurasa.

***

Belum pernah aku mengenal sosok gadis yang begitu tergila-gila dengan kucing seperti Riani. Kadar kecintaannya dengan hewan berkaki empat itu sudah dalam kategori maniak. Hanya dengan melihat sekilas saja, Riani bisa mengetahui dari ras mana kucing itu berasal dan kelahirannya dinaungi bintang apa. “Halo sagitarius cat!”sapa Riani pada seekor kucing yang ditemui saat lari pagi di Kambang Iwak.

Aku hanya mengerutkan kening. Heran. Seperti tahu apa yang sedang kupikirkan, Riani berbaik hati menjelaskannya, “Kucing berbulu hitam tadi berbintang sagitarius. Soalnya walau sudah kukasih makanan yang banyak, dia tetap mengejarku meminta makan lagi. Selalu bersikap optimis, tidak terpaku dengan masa lalu dan bersemangat dengan masa depan.”

“Jangan ge-er! Siapa tahu kucing itu memang rakus atau bisa juga sudah berhari-hari belum ketemu dengan makanan,” sergahku. “Aku baru percaya kucing itu berzodiak sagitarius kalau kamu bisa menunjukkan akte kelahirannya atau menanyakan langsung dengan induknya,” ujarku sambil berlari menjauh Riani yang sudah siap mencubitku.

Saat menghabiskan minggu pagi bersamaku dengan lari mengelilingi kolam retensi di depan rumah dinas Wali Kota Palembang, Riani selalu membawa ransel yang berisi dengan makanan kucing. Aku harus merelakan acara lari diinterupsi dengan kegiatan memberi makan kucing jalanan. Setiap bertemu dengan kucing, Riani selalu mengulurkan makanan untuk hewan berbulu itu.

“Aduh, kasihan sekali kamu kelihatan sangat lapar. Ayo makan yang banyak!” Riani sambil menyodorkan ikan segar kepada kucing berwarna kelabu yang sedang mengais-ngais bak sampah. “Doakan ya, agar aku punya kesempatan untuk memeliharamu!”

Biasanya jika melihat ada kucing yg terlantar dijalanan, Riani akan segera memungutnya untuk dibawa pulang. Jumlah kucing yang dipelihara Riani mencapai ratusan ekor. Untuk menampung kucing peliharaannya, Riani berhasil membujuk orangtuanya agar mengijinkannya menggunakan paviliun disebelah rumahnya sebagai kandang kucing.

Cuma karena hampir tiap hari Riani pulang membawa kucing terlantar, jumlah peliharaannya makin membengkak. Paviliun ukuran sepuluh kali sepuluh terasa sempit. Ikan segar untuk ransum kucing semakin bertambah. Ibunya pun mengultimatum agar Riani tidak menambah koleksi lagi. Bahkan ibunya menyarankan agar Riani membagikan kucingnya kepada orang yang berminat memeliharanya.

Menurutku sangat wajar yang dilakukan ibunya Riani. Soalnya demi membeli makanan dan vitamin untuk kucing-kucing peliharaannya, ia rela menghabiskan seluruh gajinya. Riani lebih memilih membawa kucingnya yang sakit ke dokter hewan daripada menghamburkan uang untuk ke salon atau membeli tas dan sepatu. Dia sangat peduli dengan nasib peliharaannya.

Sebenarnya tanpa disuruh ibunya pun, Riani bersedia memberikan kucing-kucingnya kepada orang yang menurutnya layak dipercaya. Cuma kategori layak dipercaya versinya sangat ketat persyaratannya. Bukan hanya harus sayang dengan binatang tapi juga harus rela berkorban. Bahkan Riani rela membuang waktu melakukan penyelidikan terhadap calon orang tua asuh kucingnya. Persis petugas dinas sosial saat menyelidiki pasangan suami istri yang akan mengadopsi anak dari panti asuhan. Terkadang aku yang diminta bantuannya menjadi detektif untuk menentukan seorang itu layak atau tidak menerima kucingnya.

“Biasanya orang cuma sayang pada kucing saat binatang itu sehat, lucu dan menyenangkan. Giliran hewan itu sakit atau tidak nurut, maka buru-buru dibuang ke jalan sebelum jadi beban. Aku tidak ingin menyiksa kucingku dengan memberikannya kepada orang yang tidak tepat!”demikian Riani selalu beralasan.

Pertemuanku dengan Riani juga karena kucing. Ketika aku pulang dari perpustakaan daerah mencari tambahan data untuk skripsi, aku melihat ada seorang gadis yang duduk di pinggir parit. Celananya basah kuyup dan banyak darah yang berceceran. Buru-buru, aku tepikan motorku. “Ada yang bisa saya bantu? Kenapa kakimu mengeluarkan banyak darah? Kecelakaan ya?” berondongku cemas.

Gadis itu menggelengkan kepalanya. “Tadi ketika aku jalan, aku mendengar ada suara anak kucing dari dalam parit ini. Langsung saja aku cari dimana sumber suaranya biar bisa menyelamatkan anak kucing. Cuma beling ini tanpa permisi menancap di kaki menundaku menyelamatkan kucing.”

“Ayo saya antar ke klinik biar kakimu cepat diobati,”kataku menawarkan bantuan. “Gak usah, terima kasih. Kalau mau bantu, tolong selamatkan kucing yang terjebak dalam parit ini saja,” pinta gadis berkacamata.

“A…apa?” tanyaku tergagap heran. Kakinya terus-terusan mengucurkan darah tapi masih sempat-sempatnya memikirkan nasib kucing di dalam got. Gadis yang aneh.

“Kalau kamu mau bantu, ayo cepat cari kucing itu. Suaranya sudah semakin melemah. Aku takut kucingnya akan mati kedinginan. Tega banget manusia yang membuang anak kucing ke dalam parit. Mungkin hatinya terbuat dari besi, tak punya perasaan kepada binatang,” gadis itu menggerutu panjang lebar.

Terjun ke dalam got yang penuh dengan sampah dan kuman penyakit demi seekor kucing? Maaf ya, cari laki-laki lain saja untuk melakukan hal itu, ujarku dalam hati. Melihatku hanya diam saja dan tampak keberatan, gadis itu dengan tertatih berusaha berdiri. Aha, akhirnya berubah pikiran juga gadis aneh itu.

“Mau dibawa ke klinik mana?” kataku mengulurkan tangan yang langsung ditepisnya.

“Tidak perlu, aku mau mengambil anak kucing itu,”tegasnya

“Hei, kamu tidak seriuskan? Apa kamu tidak lihat kakimu yang sudah berdarah-darah masih saja mau menyelamatkan anak kucing. Bukannya di barat, bisa mendapat medali karena menyelamatkan binatang!”kataku sedikit emosi.

“Kalau tidak mau menolong ya sudah, pergi sana! Jangan main tuduh sembarangan,” ujarnya sambil meloncat ke dalam parit yang cukup dalam.

Aku tidak mengenal dengan gadis aneh ini, kenapa pula aku harus mempedulikannya? Yang punya badan saja tidak peduli dengan luka yang menganga dikakinya. Hatiku mengajak untuk segera meninggalkan gadis itu, cuma badanku sok bersikap pahlawan ikut-ikutan terjun ke dalam parit. Mulutku lebih tidak kompak lagi, “Sudah naiklah ke atas! Biar aku yang akan mengambil kucing didalam parit!”

Kali ini gadis itu menurut sambil mengembangkan senyum tanda terima kasih. Hampir sepuluh menit, aku berkubang dalam parit, akhirnya kucing itu ditemukan dalam kondisi lemas dengan badan terikat batu bata.

“Betul-betul kejam orang yang mau membunuh kucing ini. Kalau tidak suka, jangan diperlakukan seperti ini, melempar kucing ke dalam parit dengan digantungi batu bata,”omelnya.

Adegan selanjutnya memberiku kesan yang sangat dalam. Gadis itu membuka jaket yang dipakainya, lalu ia selimuti kucing itu. Tanpa rasa jijik, digendongnya kucing itu dengan lembut. Tangan kanannya terus mengelus kucing yang basah kuyup.  “Terima kasih ya sudah menyelamatkan nyawa kucing ini. Namaku Riani,”ujarnya sambil mengulurkan tangan.

“Aryo. Gimana dengan lukamu?”
“Sekarang baru terasa sakitnya. Tawaran untuk mengantar ke klinik masih berlaku tidak?”

Begitulah awal perkenalan kami yang menurutku cukup unik. Sejak saat itu kami selalu menghabiskan waktu bersama. Kadang-kadang aku juga heran, kenapa mau menghabiskan waktu dengan gadis seperti Riani. Mengingat reputasiku sebagai seorang playboy yang dikaruniai wajah yang lumayan ganteng, itu menurut kata orang, Riani bukan termasuk tipe gadis idamanku.

Wajah Riani biasa saja, tidak terlalu cantik namun tidak bosan memandanginya. Kulitnya sawo matang. Jauh dari kriteria pacar yang kutetapkan, harus cantik, tinggi dan putih. Ada daya tarik yang dimilikinya yang tidak dimiliki mantan pacarku, kalau Riani bercerita matanya berpendar indah persis seperti mata kucing di dalam gelap.

Selain itu hanya Riani yang mendukung hobi memancingku. Dia tak segan membantuku meracik bahan-bahan untuk membuat umpan. Kalau ada waktu, dia mau kuajak memancing walau tempatnya jauh dan harus bermandi matahari.

“Ayo yang semangat mancingnya! Kucing-kucingku menanti hasil tangkapanmu.” Itu yang selalu Riani katakan sebelum melepasku memancing. Ya, aku hanya suka memancing tapi tidak suka memakan ikan. Begitu juga dengan keluargaku. Semua tidak suka makan ikan.  Ditemani Riani acara memancingku jadi lebih menyenangkan. Dia pandai bercerita yang bisa membuatku tertawa atau cemberut. Aku sangat sebal jika ia sudah mulai bercerita tentang masalah kucing. “Yo, tahu tidak kenapa bangsa Mesir kuno menggambarkan salah satu dewinya perempuan berkepala kucing?”

Aku hanya mendehem sebal. Kailku belum disentuh ikan, diberi pertanyaan yang tidak penting seperti itu membuatku ingin menjitaknya saja. Tapi Riani tidak peduli, dengan baik hati ia menjawab sendiri pertanyaannya. “Bangsa Mesir kuno sangat memuja matahari. Re dewa tertinggi adalah dewa matahari. Karena sangat mendewakan matahari, mereka takut dengan kegelapan. Kemampuan mata kucing yang bisa bercahaya didalam gelap, dianggap sebagai kekuatan dewa. Makanya kucing sangat diistimewakan kedudukannya. Yo, kita pindah tempat yuk! Sudah dua jam tapi belum juga ada ikan yang nyangkut. Kita mancing disana saja!”

Tanpa meminta persetujuanku Riani langsung mengemasi peralatan mancingku dan membawanya ke tempat yang ditunjuknya barusan. Sedikit menggerutu aku mengikutinya dari belakang. Tempat yang ditunjuk Riani tidak ada naungan yang bisa dijadikan tempat berteduh.

Belum lima menit menurunkan pancing, kailku bergerak kesana kemari. Umpanku mengena. Aku berusaha mengatasi perlawanan yang diberikan ikan dengan membiarkannya menarik tali pancing. Riani berteriak kegirangan membuatku makin bersemangat. Strike! Aku berhasil mengangkat seekor ikan gabus besar. Sepertinya keberuntungan sedang berpihak denganku. Berulangkali aku menikmati sensasi kailku disentak ikan. Ember yang ku bawa penuh terisi ikan. Lebih tepatnya Riani membawa keberuntungan untukku. Spot memancing yang disarankannya selalu membuatku panen ikan. Sepertinya ia tahu dimana tempat ikan berkumpul.

“Jangan heran, aku kan ratunya para kucing,”katanya dengan nada bercanda saat kuungkapkan kekagumanku tentang pilihan lokasi mancing yang banyak ikannya.

Sejak tahu sarannya selalu tepat, Riani jadi sok jual mahal. Dia mau menemaniku dengan syarat harus membantunya memandikan kucingnya terlebih dahulu. Dengan sangat terpaksa aku mau juga menolongnya. Aku bagian menyemprotkan air sementara Riani yang memberi sabun dan menggosok-gosok badan kucing hingga bersih dan wangi.

Biarpun tugasku terhitung ringan, hanya memegang selang dan menyemprot air kepada kucing,cuma karena jumlahnya ratusan mau tidak mau tanganku pegal juga. “Kenapa sih kamu maniak banget sama kucing? Gadis lain juga memelihara kucing cuma tidak sebanyak dan separah kamu,”gerutuku.

“Kucing kan makhluk ciptaan Allah. Sesama makhluk kita harus saling menyayangi biar hidup menjadi harmonis. Aku kasihan melihat kucing-kucing yang ditelantarkan, tidak diurusi oleh pemiliknya. Selagi mampu, aku ingin merawat kucing-kucing malang yang aku temukan di jalan, di bak sampah, atau dalam parit. Aku juga berkeyakinan memelihara dan menyayangi kucing atau binatang lain itu menambah amal kebajikan untukku. Aku bilang seperti itu karena terilhami dengan cerita tentang seorang pelacur yang bisa masuk surga karena ikhlas memberi semangkuk susu untuk kucing yang kelaparan. Bayangkan hanya memberi semangkuk susu sudah bisa menghantarkan ke surga!”

Percuma juga berdebat dengan Riani soal kucing.  Ia punya sejuta alasan untuk membenarkan hobinya itu. Lebih baik membicarakan tentang hubungan kami saja. “Menurutmu hubungan kita ini seperti apa ya?”pancingku. “Kamu maunya seperti apa?” Eh, dia malah memberi bola kepadaku.

Aku menggaruk kepala yang mendadak gatal, memilih kata-kata yang tepat. “Tanpa status, tanpa ikrar. Aku takut nanti tanpa masa depan.” “Untuk apa pakai ikrar? Kayak ABG saja. Ikrar itu cukup diucapkan didepan penghulu.”

“Kalau tidak ada ikrar, nanti kamu digaet pria lain!”

“Cinta itu bukan ucapan gombal tapi bentuk komitmen untuk saling mempercayai dan mendukung,” pungkas Riani menutup percakapan tentang status hubungan kami. Aku menyerah, Riani selalu menang kalau berdebat denganku.

Ego sebagai lelaki membuatku sempat berpaling dari Riani. Aku menginginkan sebuah hubungan yang jelas. Aku memilih berpacaran dengan gadis sesuai dengan standarku. Menghabiskan waktu berdua tanpa harus diganggu dengan tetek bengek yang berhubungan kucing mengucing.

Ketika aku bersiap pergi menjemput Santi, pacar baruku, HP di kantong celana bergetar lembut. Tanpa perlu melihat layar, aku sudah tahu siapa yang menelepon. Riani. Walau enggan, aku terima juga telepon darinya. Kesempatan baik untuk memproklamirkan pacarku dengannya.

“Yo, kok kamu belum ke sini, sih? Baru bangun ya? Kucing-kucing sudah gelisah menunggu kedatanganmu. Mereka sudah tidak sabar untuk dimandikan.”Sabtu pagi memang jadwalku membantu Riani memandikan kucingnya, tapi itu akan jadi masa lalu.

“Maaf kayaknya aku tak bisa ke sana,”

“Kamu lagi sakit, ya?” ada nada cemas dalam nada suara Riani.

“Aku sehat. Aku…aku mau pergi bersama pacarku,” sengaja aku memberi penekanan kata pacar. Aku ingin melihat reaksi Riani. Aku berharap ia marah-marah sebagai tanda kehilanganku. Hening sejenak. “Syukur deh akhirnya kamu punya pacar. Itu tandanya kamu laki-laki normal.” “Hei, apa maksudmu? Jadi selama ini aku tidak normal, ya?!” Riani tertawa renyah. “Bukan aku lho yang mengatakan tidak normal,”ujarnya disela tawanya.

Tidak ada nada marah atau cemburu dalam suaranya. “Ya sudah kalau begitu, selamat bersenang-senang ya! Salam kenal untuk pacarmu!” Tidak puas dengan reaksinya ditelepon, dengan sedikit paksaan dan rayuan, aku mengajak Santi untuk lari pagi biar bisa bertemu Riani. Bisa saja aku bertamu ke rumah Riani, aku tahu ia akan menerimaku dengan tangan terbuka. Namun kesannya kekanakan dan pamer. Kalau bertemu di jalan, kesannya seperti sebuah kebetulan belaka. Dan ketika bertemu muka dengan Santi, Riani tampak biasa-biasa saja. Tidak ada kesedihan yang tampak dari pancaran sinar matanya. Membuat aku geregetan dengan sikapnya.

Hubunganku dengan Santi hanya bertahan satu bulan saja. Aku yang memutuskannya. Aku yang terbiasa dengan sikap Riani yang mandiri, tidak pernah menuntut apa-apa dariku dan sangat mendukung hobi memancingku, harus menahan kesal dengan tabiat manja dan ketergantungan Santi  padaku. Parahnya lagi, Santi melarangku menekuni hobi memancingku. Daripada aku terkena sakit jantung, lebih baik ku akhiri saja hubungan ini.

Ada rasa kagok dan malu, saat kembali bertandang ke rumah Riani.
“Hai, lagi ngapain?”tegurku  kikuk.
Pertanyaan tolol. Sudah jelas ia sedang menyabuni kucing, masih saja ditanya sedang ngapain. “Kok sendirian? Mana Santi? Kok tidak diajak ke sini?”tegurnya datar.
“Kami sudah putus!”
Riani diam saja tidak berkomentar.
“Riani, Aku ingin balik lagi sama kamu, bolehkan?”
Riani menatapku dengan pandangan heran. “Balik? Maksudnya?” Aku tambah grogi dibuatnya.

“Aku ingin hubungan kita seperti dulu lagi,”
“Emangnya hubungan kita dulu seperti apa?”
“Ya..seperti sebelum aku berpacaran dengan Santi, bisa kan?” harapku cemas.
Hening melingkupi kami membuatku makin dihinggapi rasa was-was.
“Ayo dong kasih jawaban! Aku rela melakukan apa saja biar hubungan kita bisa seperti dulu lagi,”
“Bener mau melakukan apa saja?”tanya Riani. Ada kilat jahil dalam sorot matanya.
Aku mengangguk, ragu.
“Belikan aku sphinx!”

“Apa?!?” Aku menelan ludah yang terasa pahit. Bergaul dengan Riani, sedikit banyak membuatku agak tahu soal kucing. Apakah Riani serius minta dibelikan kucing tanpa bulu yang harganya di atas lima puluh juta itu? Aku lebih suka kalau Riani minta dibelikan tas branded atau perhiasan ketimbang kucing bertampang jelek tapi harganya sangat mahal. Gimana kalau baru sebulan dibeli, kucing itu mati? Bisa sakit gigi setahun.

“Woi, kok serius amat mikirnya?!?  Emang aku tega minta Sphinx sama kamu? Lagian emang kita pernah putus sampai kamu mau balik lagi?” Riani dengan senyum nakal.

Aku lega sekali mendengarnya. Buru-buru aku ambil selang air yang tergeletak di samping kaki Riani.

***

Aku lagi bahagia. Impian untuk menikmati sensasi memancing di Raja Ampat Papua, akhirnya tercapai. Walau harus menjebol tabunganku selama bertahun-tahun dan menghadapi kemarahan ibuku yang tidak setuju aku menghabiskan puluhan juta demi hobi memancingku, aku benar-benar merasa puas bisa merasakan perlawanan ikan barakuda, babora alias kuwe gerong, kakap merah yang tersangkut di pancingku. Mataku dipuaskan dengan pemandangan alam Raja Ampat yang sangat indah bak lukisan. Kalau tidak ingat masa cutiku yang habis dan Riani yang membelaku dihadapan ibu, aku enggan pulang.

Ya, sebelum pergi aku sempat bertengkar dengan ibu soal kepergianku ke Raja Ampat.

“Ngapain mancing jauh-jauh sampai ke Papua? Ngabisin uang saja!”gerutu ibu. “Enak kalo dapat ikannya banyak. Sudah keluar uang banyak, tidak dapat ikan lagi. Kalo dibawa ke pasar, uang untuk ke Papua itu bisa membeli ikan satu truk!” semprotnya lagi.

“Betul, tante. Kalo dibelanjain bisa buka lapak ikan,”sambung Riani.
Aku mendelik kaget. Sejak kapan Riani membelot dan bersekongkol dengan ibu, baru aku mau protes, Riani sudah berbicara lagi.

“Cuma tante, di pasar ada gak ya yang jual sensasi kenikmatan saat kail dimakan ikan? Kalo ada, kita belikan saja biar Aryo tak jauh-jauh mancingnya.” “Jelas aja gak ada!”sembur ibuku masih dengan emosi.

“Nah, karena gak ada itulah tante harus membiarkan Aryo memancing. Kasian kan sudah jauh memancing tidak membawa hasil karena tidak direstui tante,”kata Riani yang langsung kuberi tepuk tangan. Setuju.

Ucapan Riani tadi membuat ibu menurunkan restunya walau dengan setengah hati. Sepulang dari Raja Ampat, aku mengajak Riani makan di cafe favorit kami. Dengan menggebu, aku menceritakan petualangan memancingku. Anehnya, Riani tidak begitu antusias mendengarnya. Tangannya sibuk mengaduk-aduk cappucino latte di hadapannya. Pandangan matanya tampak menerawang jauh. Seperti ada sesuatu yang memberati pikirannya.

“Ada apa, kok diam saja?”usikku. Riani menghela nafas panjang. “Yo, Kamu liat berita di televisi tentang Gunung Sinabung, tidak?” “Tidak. Aku ngikutin beritanya di media online. Setelah empat ratus tahun tertidur, akhirnya Sinabung aktif lagi mengeluarkan lahar panas. Katanya itu efek dari gempa di Aceh, Nias dan Padang. Emang kenapa?”

“Kemarin aku liat di tv banyak kucing yang menderita kelaparan akibat ditinggal mengungsi sama pemiliknya. Kok nggak ada ya yang mikirin nasib para kucing itu?”

“Wajar saja. Soalnya dalam situasi seperti itu yang utama adalah memikirkan keselamatan diri sendiri dan keluarga. Syukur-syukur bisa menyelamatkan barang berharga.”

“Maksudmu kucing bukan barang berharga? Kucing kan makhluk hidup sama seperti manusia. Mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan rasa aman dan terbebas dari rasa lapar,”gugatnya.

“Tidak setiap orang berpikiran yang sama sepertimu. Kalau kamu dalam posisi seperti pengungsi Gunung Sinabung, aku yakin kucing adalah hal pertama dalam daftar bawaanmu untuk mengungsi. Mungkin juga karena keterbatasan dana membuat pemerintah atau lembaga sosial tidak terlalu mengurusi hewan peliharaan yang ditinggal mengungsi. Gimana kalau kamu saja yang mengurusi kucing yang terlantar itu?”godaku sekaligus menyindir Riani yang ditanggapinya dengan diam.

Aku pikir pembicaraan mengenai kucing di kaki Gunung Sinabung berakhir di cafe saja. Tapi ternyata tidak. Tengah malam, Riani meneleponku mengabarkan akan pergi ke Tanah Karo.

“Yo, besok jam sepuluh aku akan berangkat ke Medan. Naik bus. Sebenarnya aku bisa saja naik pesawat tapi setelah dipikir-pikir lebih baik uang ongkos pesawatnya untuk menambahi membeli makanan kucing saja,”ucapnya dengan nada yang sangat ceria.

“Kamu tidak serius kan dengan ucapanmu?”tanyaku khawatir.
“Sejak kapan aku bercanda kalau menyangkut urusan kucing?”
Berarti Riani tidak main-main dengan ucapannya. Aku harus mencegah kepergiannya.

“Kamu tidak perlu pergi ke sana! Sumbangkan saja makanan kucing yang sudah dibeli ke yayasan sosial yang akan menyalurkan bantuan ke Sinabung. Pergi kesana sama saja dengan mengantarkan nyawa!”kataku sedikit emosi. Senyap sejenak.

“Gimana dengan orangtuamu? Aku yakin beliau tidak akan memberikan ijin anak bungsunya pergi ke kaki gunung yang siap melontarkan magma setiap saat,”ujarku sedikit melunak. “Bukan Riani namanya kalau tidak bisa merayu ortu untuk menurunkan restu,” jumawa.

“Bagaimana dengan kucingmu? Siapa yang akan mengurus ratusan kucingmu selama kau pergi? Tidak mungkinkan kamu tega menyuruh orangtuamu?” Mudah-mudahan hal ini bisa membuat Riani membatalkan keberangkatannya ke Sinabung.

“Apa gunanya aku punya kamu?”
“Maksudmu?!?”
“Aku yakin bisa mempercayaimu untuk merawat kucingku karena kamu adalah orang terdekatku,” Riani yakin sekali aku akan mau merawat kucingnya.

“Gimana kalau perginya minggu depan saja? Biar bisa aku temani,”bujukku. Aku tidak tega melepas Riani pergi sendiri. Ya, aku perlu waktu beberapa hari untuk mengurus ijin cuti lagi dan meminjam uang di koperasi kantor. Memancing di Raja Ampat membuat saldo tabunganku hampir ke titik nol.

“Kamu masih capek. Jangan khawatir, aku bisa jaga diri. Aku kan ratu kucing yang punya sembilan nyawa cadangan,”candanya sebelum memutuskan sambungan telepon. Ketika mengantar Riani naik bis, ada perasaan yang tidak rela melepas kepergiannya.
“Riani, aku….”

Riani menatapku dengan hangat menunggu kelanjutan ucapanku. Cuma sialnya, kata-kata yang sudah kusiapkan dari semalam nyangkut di tenggorokan. Aku ingin mengatakan bahwa aku sangat mencintainya. Aku tidak ingin ia pergi meninggalkanku demi kucing.

“Yo, kamu mau ngomong apa sih? Kalau kamu susah ngomongnya sekarang, tunggu aku pulang saja. Kamu bisa bebas ngomong apa saja, oke?”ujarnya sambil menjabat tanganku.

“Setelah aku pulang nanti, rangkailah kata-kata yang indah untukku. Aku yakin kamu bisa!! Aku akan mendengarkan kata-katamu!”teriaknya sebelum menghilang masuk ke dalam bus.

Riani salah. Setelah ia pulang ke rumah tanpa nyawa, aku tetap tidak bisa merangkai kata-kata indah untuknya. Bus yang ditumpanginya mengalami kecelakaan membuat Riani harus kehilangan nyawanya sebelum ia melaksanakan misinya. Menjadi peri penolong untuk kucing-kucing di kaki Gunung Sinabung yang kelaparan. Aku hanya terpaku menatap jenazahnya yang ditutupi kain batik berwrna coklat. Jiwaku terasa kosong dan hampa. Kepalaku dipenuhi dengan suara-suara kucing yang sedang bertengkar. Riuh.

Oleh : Emi Afrilia Burhanuddin

(Bagi Anda yang memiliki cerita pendek dan bersedia dipublikasikan, silakan kirim ke alamat email: news@okezone.com)


Leave a comment